Jumat, 04 Oktober 2013

Ihaq, Makelar Jodoh Paling Oke



Moh. Ishaq (alm., 70 tahun), tetangga desa saya, biasa dipanggil Ihaq (tanpa S; di kampungku pengucapan nama-nama sangat banyak yang disingkat demi kemudahannya), dikenal sebagai makelar jodoh paling oke. Ia buta-huruf tapi licin bercuap-cuap (maklum makelar), jauh-dekat setia dengan onthel kesayangannya (karena memang tidak bisa mengoperasikan alat transfortasi berbahan bakar bensin), pakai sarung lengkap dengan kopiah hitamnya, baju koko/taqwa kadang batikan (tergantung hajatnya, tapi soal kopiah hitam, baginya seakan sudah tak bisa ditawar-tawar lagi, dan harus dipakai—tapi dia tidak botak, lho...!). Cara tertawanya yang sangat tipikal, karena gigi palsunya akan tampak jelas bergoyang-goyang di bibir-mulut yang mulai menghitam karena asap rokok. Murah senyum, mudah tertawa, saking murahnya, melihatnya saja sudah bikin orang sekampung-dua kampung tak kuasa menahan tawa.
Hampir semua warga terutama dari dua desa (desa saya dan desa Ihaq) mengenalnya akrab, mulai dari anak-anak usia SD, yang sekadar menyapanya bahkan tak jarang menggodanya, hingga orang-orang dewasa. Saat itu pun saya masih berusia belasan tahun, jadi sering juga menyapanya akrab, sangat akrab, seakan-akan kami tak dipisahkan oleh jarak usia yang puluhan tahun. Bukan karena saya yang berusaha mengakrabkan diri, tetapi pribadi dia yang mudah akrab dengan siapa pun. Kepada yang muda dia berbicara sebagai orang muda, kepada yang tua berbicara sebagaimana layaknya antar-orangtua (madura: enggi-bunten).
Secara formal, ia tak punya kerjaan apa-apa, selain jadi makelar jodoh. Tidak juga bertani, sebagaimana umumnya orang kampung; tidak juga berniaga (kecuali ada tawaran jual-beli keris yang diyakini “sakti”). Satu-satunya kerjaan setiap harinya, ya itu tadi: Makelar jodoh. Entah kapan dan dari mana profesi ini ia sayangi, karena secara intitusional dia tidak mendeklarasikan dirinya sebagai biro jodoh, yang setiap harinya hanya duduk-duduk didatangi orang-orang, atau ditelepon seseorang.
Tapi inilah kelebihannya, kelebihan yang tidak dimiliki warga sekampung saya. Ia sangat disayang, semua warga menganggapnya lebih dari saudara, lebih dari seorang orangtua biasa, lebih dari seorang karib biasa. Seakan-akan tiada ada hari yang cerah tanpa kehadirannya. Karena sikapnya yg ramah dan bersahaja, rezeki pun tak henti-hentinya mengalir dari setiap tuan rumah yang dikunjunginya, sekalipun hanya secangkir kopi Akoncok Paek di pagi dan malam hari plus sebatang-dua batang rokok, bonus makanan ala kadarnya. Setiap hari hampir selalu begitu, tak ada bosan-bosanya, dari satu kursi rumah ke kursi rumah lainnya. Tidak berpantang pada apapun yang ada di depannya, pada apa yang diresahkan warga, kurang senang melihat sesuatu yang tidak beres—seperti meja kotor, kotoran ayam mengganggu pandangan mata di halaman rumah, baju jemuran tetangga kehujanan, dst. Dialah orang pertama yang mengatasi ketidakberesan-ketidakberesan itu.
Sayang, ia sudah menghadap Yang Maha Kuasa beberapa tahun yang silam, dan saya tidak sempat melayatnya, padahal jasanya, kebersahajaannya, menyatupadunya dengan warga kampung, masih didamba oleh warga sekampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar