Moh. Ishaq (alm., 70 tahun), tetangga desa saya, biasa
dipanggil Ihaq (tanpa S; di kampungku pengucapan nama-nama sangat banyak yang
disingkat demi kemudahannya), dikenal sebagai makelar jodoh paling oke.
Ia buta-huruf tapi licin
bercuap-cuap (maklum makelar), jauh-dekat setia dengan onthel kesayangannya (karena memang tidak bisa mengoperasikan alat
transfortasi berbahan bakar bensin), pakai sarung lengkap dengan kopiah
hitamnya, baju koko/taqwa kadang batikan (tergantung hajatnya, tapi soal kopiah
hitam, baginya seakan sudah tak bisa ditawar-tawar lagi, dan harus dipakai—tapi
dia tidak botak, lho...!). Cara tertawanya yang sangat tipikal, karena gigi
palsunya akan tampak jelas bergoyang-goyang di bibir-mulut yang mulai menghitam
karena asap rokok. Murah senyum, mudah tertawa, saking murahnya, melihatnya
saja sudah bikin orang sekampung-dua kampung tak kuasa menahan tawa.
Hampir semua warga terutama dari dua desa (desa
saya dan desa Ihaq) mengenalnya akrab, mulai dari anak-anak usia SD, yang
sekadar menyapanya bahkan tak jarang menggodanya, hingga orang-orang dewasa.
Saat itu pun saya masih berusia belasan tahun, jadi sering juga menyapanya
akrab, sangat akrab, seakan-akan kami tak dipisahkan oleh jarak usia yang
puluhan tahun. Bukan karena saya yang berusaha mengakrabkan diri, tetapi pribadi
dia yang mudah akrab dengan siapa pun. Kepada yang muda dia berbicara sebagai
orang muda, kepada yang tua berbicara sebagaimana layaknya antar-orangtua
(madura: enggi-bunten).
Secara formal, ia tak punya kerjaan apa-apa,
selain jadi makelar jodoh. Tidak juga bertani, sebagaimana umumnya orang
kampung; tidak juga berniaga (kecuali ada tawaran jual-beli keris yang diyakini
“sakti”). Satu-satunya kerjaan setiap harinya, ya itu tadi: Makelar jodoh.
Entah kapan dan dari mana profesi ini ia sayangi, karena secara intitusional
dia tidak mendeklarasikan dirinya sebagai biro jodoh, yang setiap harinya hanya
duduk-duduk didatangi orang-orang, atau ditelepon seseorang.
Tapi inilah kelebihannya, kelebihan yang tidak
dimiliki warga sekampung saya. Ia sangat disayang, semua warga menganggapnya
lebih dari saudara, lebih dari seorang orangtua biasa, lebih dari seorang karib
biasa. Seakan-akan tiada ada hari yang cerah tanpa kehadirannya. Karena
sikapnya yg ramah dan bersahaja, rezeki pun tak henti-hentinya mengalir dari
setiap tuan rumah yang dikunjunginya, sekalipun hanya secangkir kopi Akoncok
Paek di pagi dan malam hari plus sebatang-dua batang rokok, bonus makanan
ala kadarnya. Setiap hari hampir selalu begitu, tak ada bosan-bosanya, dari
satu kursi rumah ke kursi rumah lainnya. Tidak berpantang pada apapun yang ada
di depannya, pada apa yang diresahkan warga, kurang senang melihat sesuatu yang
tidak beres—seperti meja kotor, kotoran ayam mengganggu pandangan mata di
halaman rumah, baju jemuran tetangga kehujanan, dst. Dialah orang pertama yang
mengatasi ketidakberesan-ketidakberesan itu.
Sayang, ia sudah menghadap Yang Maha Kuasa beberapa
tahun yang silam, dan saya tidak sempat melayatnya, padahal jasanya, kebersahajaannya,
menyatupadunya dengan warga kampung, masih didamba oleh warga sekampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar