Aromanya
tak menyesakkan napas meskipun ia seorang pengharum malam, karena ia memiliki
sisi lain, yaitu panggung belakang/back stage, dari sekadar yang
(di)tampak(kan) di panggung depan/front stage. Maka menghinalah pada apa
yang tampak di panggung depan, tapi selamilah juga apa yang tak kau lihat di
panggung belakang. Itulah dramaturgi transendental di balik novel Pusparatri,
bila dilihat dari perspektif buku Agama Pelacur, karya Prof. Dr.
Nursyam, M.Si, terbitan LKiS, 2010.
Novel
Pusparatri (2011) yang ditulis oleh Nurul Ibad MS, novelis yang mengambil
seting penulisan novel-novelnya tentang dunia pesantren, diterbitkan oleh LKiS.
Ini adalah novel pertama dari triologi Kharisma Cinta Nyai. Novel kedua
berjudul Syuga Sonyaruri (2012) dan novel ketiga berjudul Ni Luh Tantri (akan
terbit, 2014). Novel Pusparatri sebenarnya merupakan sekuel dari novel
Nareswari Karennina, (diterbitkan oleh Matapena-LKiS, 2009).
Apa
yang menyambungkan antara Pusparatri dan Agama Pelacur adalah pada
perspektifnya dalam melihat fenomena kehidupan perempuan yang berprofesi
sebagai pelacur. Seorang pelacur, baik yang freelance maupun yang
terorganisasir, sesungguhnya merupakan refleksi dari wajah kita sebagai anak
bangsa. Pelacur harus menampilkan diri dalam berbagai wajah (panggung depan) di
saat hatinya sedang risau dan tertekan; harus selalu tersenyum untuk melayani
pelanggan. Pahadal kita tahu, apa yang ditampilkan (panggung depan) belum tentu
menggambarkan apa yang senyatanya terjadi di panggung belakang. Dan kita sering
kali hanya melihat dari tampilan luarnya dan menapikan sisi terdalamnya, sisi
yang sangat hening, dunia yang tersembunyi, dunia sepinya dengan Tuhannya, yang
tak perlu diumbar. Itulah bilik hati seorang pelacur yang terhubung langsung
dengan bilik Sang Pencipta, yang sejatinya tidak pernah mengajarkannya untuk
melacurkan dirinya, kecuali kepada Tuhannya. Demikianlah dunia Pusparatri, ia
tak lebih dari sekadar perempuan kembang, tak lebih dari sekadar pengharum
malam-malam laki-laki tatkala purnama merekah di bukit Ambulu.
Sementara buku Pak Nur Syam mengupas banyak hal yang sebenarnya
menjadi ruang terdalam dari pergulatan para pelacur yang selama ini tidak
terpikirkan oleh banyak orang sehingga belum terungkap ke publik, yakni
penghayatan dan apresiasi para pelacur terhadap Dzat Yang Maha Kuasa. Di saat
kuasa lain menyudutkan dia, ada kuasa lain yang memberikan tempat mendengar
keluh kesahnya, menjadi peneguh saat mengalami keputusasaan, dan menjadi
sandaran tempat berharap untuk kehidupannya yang lebih baik lagi, itulah kuasa
Tuhan.
Tuhan dalam diri pelacur tentu bukanlah sosok Tuhan yang mengalami
institusionalisasi sebagaimana layaknya yang sering diuangkap dalam bahasa kaum
agamawan. Tuhan bagi seorang pelacur dimensinya sangat personal. Tuhan yang
belas kasih. Yang memandang apa adanya. Tuhan selalu hadir kapan saja dan di
mana saja. Tuhan yang membuat kaum agamawan tak mampu lagi memonopoli sebagai
pemilik tunggal. Tuhan yang selalu dekat bahkan dari ulat leher manusia, bagi
siapa pun yang berkehendak merindukan dan membutuhkannya, termasuk pelacur. Ya,
karena pelacur juga manusia, ia pun tak dapat melepaskan diri dari kuasa Tuhan.
Sekalipun pandangan masyarakat menilai pelacur itu amoral, pendosa, jauh dari
ajaran Tuhan, hakekat kemanusiannya tetap selalu membutuhkan eksistensi dan
dzat yang objektif yang dapat memandang diri dan kehidupannya secara utuh dan
apa adanya. Tuhan dalam penghayatan kaum pelacur menjadi ruang mediatif dan
memiliki fungsi integratif. Apa yang pernah diungkapkan oleh Rudolf Otto
tentang pergolakan jiwa manusia terhadap sang maha kuasa sebagai pergolakan tremendum dan fascinans. Manusia sebagaimana pergolakan jiwa yang dialami oleh
pelacur yang memandang Tuhan dengan perasaan takut, akan tetapi juga tertarik.
Takut karena ia berada dalam realitas keterpurukan menjalani profesi pendosa
sebagaimana dalam bahasa agama. Tertarik karena hanyalah Tuhan sosok yang maha
belas kasih, dan kekuatan tempat menaruh harap agar dapat lepas dari lembah
nista pelacuran. Konteks pergolakan jiwa ini tercermin dari perilaku para
pelacur yang rajin memberikan infaq dan shodaqoh untuk kegiatan keagamaan.
Apa
yang kita petik dari kedua buku di atas adalah di dalam diri Pusparatri, di
dalam para pelacur, di dalam diri koruptor, perompak, pengkhianat, dan para
kufur lainnya, Tuhan tak bosan-bosannya memberikan inspirasi dan mengajaknya
kembali ke jalan yang benar.
Wallahu a’lam...
ulasan nya keren om :)
BalasHapusTrims. Sdh baca kedua buku di atas?
BalasHapus