Kamis, 10 Oktober 2013

Dramaturgi Transendental Seorang Pelacur


Aromanya tak menyesakkan napas meskipun ia seorang pengharum malam, karena ia memiliki sisi lain, yaitu panggung belakang/back stage, dari sekadar yang (di)tampak(kan) di panggung depan/front stage. Maka menghinalah pada apa yang tampak di panggung depan, tapi selamilah juga apa yang tak kau lihat di panggung belakang. Itulah dramaturgi transendental di balik novel Pusparatri, bila dilihat dari perspektif buku Agama Pelacur, karya Prof. Dr. Nursyam, M.Si, terbitan LKiS, 2010.
 Novel Pusparatri (2011) yang ditulis oleh Nurul Ibad MS, novelis yang mengambil seting penulisan novel-novelnya tentang dunia pesantren, diterbitkan oleh LKiS. Ini adalah novel pertama dari triologi Kharisma Cinta Nyai. Novel kedua berjudul Syuga Sonyaruri (2012) dan novel ketiga berjudul Ni Luh Tantri (akan terbit, 2014). Novel Pusparatri sebenarnya merupakan sekuel dari novel Nareswari Karennina, (diterbitkan oleh Matapena-LKiS, 2009).
Apa yang menyambungkan antara Pusparatri dan Agama Pelacur adalah pada perspektifnya dalam melihat fenomena kehidupan perempuan yang berprofesi sebagai pelacur. Seorang pelacur, baik yang freelance maupun yang terorganisasir, sesungguhnya merupakan refleksi dari wajah kita sebagai anak bangsa. Pelacur harus menampilkan diri dalam berbagai wajah (panggung depan) di saat hatinya sedang risau dan tertekan; harus selalu tersenyum untuk melayani pelanggan. Pahadal kita tahu, apa yang ditampilkan (panggung depan) belum tentu menggambarkan apa yang senyatanya terjadi di panggung belakang. Dan kita sering kali hanya melihat dari tampilan luarnya dan menapikan sisi terdalamnya, sisi yang sangat hening, dunia yang tersembunyi, dunia sepinya dengan Tuhannya, yang tak perlu diumbar. Itulah bilik hati seorang pelacur yang terhubung langsung dengan bilik Sang Pencipta, yang sejatinya tidak pernah mengajarkannya untuk melacurkan dirinya, kecuali kepada Tuhannya. Demikianlah dunia Pusparatri, ia tak lebih dari sekadar perempuan kembang, tak lebih dari sekadar pengharum malam-malam laki-laki tatkala purnama merekah di bukit Ambulu.

Sementara buku Pak Nur Syam mengupas banyak hal yang sebenarnya menjadi ruang terdalam dari pergulatan para pelacur yang selama ini tidak terpikirkan oleh banyak orang sehingga belum terungkap ke publik, yakni penghayatan dan apresiasi para pelacur terhadap Dzat Yang Maha Kuasa. Di saat kuasa lain menyudutkan dia, ada kuasa lain yang memberikan tempat mendengar keluh kesahnya, menjadi peneguh saat mengalami keputusasaan, dan menjadi sandaran tempat berharap untuk kehidupannya yang lebih baik lagi, itulah kuasa Tuhan.
Tuhan dalam diri pelacur tentu bukanlah sosok Tuhan yang mengalami institusionalisasi sebagaimana layaknya yang sering diuangkap dalam bahasa kaum agamawan. Tuhan bagi seorang pelacur dimensinya sangat personal. Tuhan yang belas kasih. Yang memandang apa adanya. Tuhan selalu hadir kapan saja dan di mana saja. Tuhan yang membuat kaum agamawan tak mampu lagi memonopoli sebagai pemilik tunggal. Tuhan yang selalu dekat bahkan dari ulat leher manusia, bagi siapa pun yang berkehendak merindukan dan membutuhkannya, termasuk pelacur. Ya, karena pelacur juga manusia, ia pun tak dapat melepaskan diri dari kuasa Tuhan. Sekalipun pandangan masyarakat menilai pelacur itu amoral, pendosa, jauh dari ajaran Tuhan, hakekat kemanusiannya tetap selalu membutuhkan eksistensi dan dzat yang objektif yang dapat memandang diri dan kehidupannya secara utuh dan apa adanya. Tuhan dalam penghayatan kaum pelacur menjadi ruang mediatif dan memiliki fungsi integratif. Apa yang pernah diungkapkan oleh Rudolf Otto tentang pergolakan jiwa manusia terhadap sang maha kuasa sebagai pergolakan tremendum dan fascinans. Manusia sebagaimana pergolakan jiwa yang dialami oleh pelacur yang memandang Tuhan dengan perasaan takut, akan tetapi juga tertarik. Takut karena ia berada dalam realitas keterpurukan menjalani profesi pendosa sebagaimana dalam bahasa agama. Tertarik karena hanyalah Tuhan sosok yang maha belas kasih, dan kekuatan tempat menaruh harap agar dapat lepas dari lembah nista pelacuran. Konteks pergolakan jiwa ini tercermin dari perilaku para pelacur yang rajin memberikan infaq dan shodaqoh untuk kegiatan keagamaan.
Apa yang kita petik dari kedua buku di atas adalah di dalam diri Pusparatri, di dalam para pelacur, di dalam diri koruptor, perompak, pengkhianat, dan para kufur lainnya, Tuhan tak bosan-bosannya memberikan inspirasi dan mengajaknya kembali ke jalan yang benar.
Wallahu a’lam...

2 komentar: